March 04, 2017

Visa Jepang dan Travel Agent 'Perdana'

Selamaaa... darahku masih mengalir... selama itu pula aku milikmu akan menggunakan tenaga sendiri dalam hal traveling. *Buat yang nggak ngeh, itu di awal lirik lagu Om Ari Lasso - "Arti Cinta". Iya tau kok jayus :( Tentu dengan pengecualian tiket promo, hahaha (colek Bang Supriadi tersayang)

Visa Jepang yang terkenal cantik karena ada Sakura-nya
Source: blog.reservasi.com 

Namun akhirnya, mitos "bikin visa harus lewat agen!" mencipratiku juga. Bukan karena aku malas, bukan karena aku kelebihan uang -- seperti yang selalu di'canda'kan beberapa orang -- tapi memang karena tidak ada jalan lain. Mama dan aku wajib membuat visa Jepang karena kami pemegang paspor non elektronik. Emang rada-rada juga sih ini KemenkumHAM, launching si e-paspor persis sebulan setelah kami selesai memperpanjang paspor biasa. Mestikung sekali.

"Emang visa Jepang susah ya, Lin?" Enggak kok, sama sekali enggak. "Lalu?" Hmm... begini ceritanya: Di hari Rabu cerah yang lalu, seorang gadis manis bernama Erlin pamit dari kantornya, dengan keperluan mengurus visa ke Kedutaan Besar Jepang di bilangan Thamrin. Pake bela-belain ke Sabang dulu lho buat cetak foto 4,5 x 4,5 latar putih, soalnya si Erlin ditipu oleh hasil cetak foto malam sebelumnya; Pesan 4,5 kuadrat, dapetnya 4,5 x 4senti-kurang-beberapa-mili. Turun dari taksi Burung Biru, Erlin langsung disambit disambut satpam dengan muka serius: "Diperiksa dulu isi tasnya, Mbak." Nah. Pemeriksaan tas ini akan dilakukan dua kali: di luar gerbang dan sebelum pintu masuk terakhir ke lobi. Jadi pastikan kalian tidak membawa tas bergembok ya. Atau tas yang harus ditutup dengan ikatan simpul mati. Jangan.

Japan Embassy for Indonesia, terletak setelah Plaza e(x)
Source: Rappler 

Melewati gerbang terluar, Erlin lalu menukarkan KTP dengan tanda pengenal tamu. Selanjutnya masuk ke pintu lain di sebelah kanan lorong untuk melewati x-ray scanner, yang saat itu kebetulan sedang 'cuti', hingga berujung pemeriksaan manual. Selesai sudah prosedur "periksa-periksaan". Erlin lalu membuka pintu dengan hati berdegup kencang... ada apakah di balik tirai nomor satu??? #sokquiz

Antrian pengunjung! Widihhh~ Nggak nyangka peminat visa Jepang di tanggal 2 Maret 2017 bisa sebanyak ini. Erlin maju membelah lautan manusia dengan perlahan, sambil tengok kanan-kiri untuk lihat keterangan alur pengurusan visa. Akhirnya Erlin sukses menemukan mesin tiket antrian dan mendapat urutan ke-119. Lihat ke loket: masih nomor 68. Wassalam. Kursi di lobi occupied semua. Lucunya, ada 3-4 meja besar yang menjadi tempat nongkrong para agen visa untuk mengurus berkas-berkas customers-nya. Dulu waktu di Kedutaan Besar Korea Selatan, aku nggak nemu yang beginian. Lucu deh. Para agen-agen ini juga ngobrol santai... beda sama individu-individu di sebelahnya yang mukanya gugup, takut ada berkas yang kurang. Atau mungkin pengen buang hajat, tapi dia tinggal berjarak 5 nomor antrian lagi. Kesiyan.


Letaknya agak tersembunyi, apalagi kalau antri berdirinya tumplek-tumplekan
Source: Catatan Kecilku

Berbekal novel George Orwell "1984", Erlin berdiri menunggu giliran. Susah banget fokus sama buku 'unik' satu ini, selain karena jalan ceritanya nyeleneh, ada juga hal-hal menarik yang terjadi di lobi Kedubes ini. Seorang ibu yang ditegur karena menerima telepon di dalam lobi. Seorang embak yang suara shutter ponselnya lupa dimatikan saat dia mengabadikan momen (aslinya memang dilarang memotret di dalam Kedubes) tapi tidak terdengar oleh Pak Satpam.

20 nomor antrian berlalu, Erlin berhasil mendapat tempat duduk, jadinya bisa lebih fokus membaca novel. Tiba-tiba seorang Bapak di sebelah kiri bertanya, "Mbak, formulir yang itu diambil di mana?" sambil menunjuk kertas seukuran nota yang kupegang. Itu adalah form registrasi yang harus diisi sebelum menyerahkan berkas permohonan visa, dan kemudian ditunjukkan pada petugas saat akan mengambil visa 5 hari ke depan. Formulir diambil di satpam yang kusebutkan di paragraf di atas. Satpam ini memang tidak mencolok. Orangnya setipe bunglon, kayaknya, senang membaur dengan habitat. Beliau seorang bapak 50-an tahun dengan seragam biru muda (lebih muda dari warna seragam Kemenkeu yang asli.red) dan memang kurang begitu gesit dalam 'menyambut' tamu untuk memberikan si 'nota' tadi. Gesitnya beliau hanya muncul saat menegur orang yang teleponan saja, atau pas ramah-tamah dengan tamu yang nampaknya langganan membuat visa. 

Pelayanan loket yang cukup cepat dan profesional
Source: Nasikudhinisme

119! Erlin sigap maju ke loket nomor 3 yang diawaki Mbak cantik berkulit putih dengan wajah oriental. Kedua paket berkas diserahkan lewat lubang kecil yang membatasi keduanya.
"Mbak ini KTP alamatnya di Manado ya?"
Jreng! Erlin kaget sepersekian detik. "Eh iya, tapi memang kerja di Jakarta kok Mbak."

Sambil memutar badan ke arah kabinet besi di belakangnya, Mbak Loket 3 menjawab: "Maaf ya, Mbak, ini sudah kebijakan kami. Kami ada pembagian wilayah, kalau Mbak masih terdaftar penduduk di Manado, hanya bisa apply visa lewat Konsuler kami yang ada di... MAKASSAR."

Jreng jreng! Sekelebat terbayang lah semua usaha 'mengejar' si Emak untuk mengurus berkas-berkas visa beliau agar kemudian cepat dikirim ke Jakarta. Ealah ternyata harus ngurus ke Makassar toh. Ckckck. Apakah ini mestikung juga?! Kok bisa-bisanya seorang Erlin yang (ngakunya) perfeksionis itu tidak tahu bahwa pengurusan visa Jepang dilakukan berdasarkan data kependudukan? Hmm. Itu tidak tercatat di situs! Eits... apa betul? Kan Erlin dulu hanya langsung googling: "syarat visa Jepang" dan langsung diarahkan ke persyaratan berkas. Hmmmmmm. Apa arti di balik semua ini.

(klik disini untuk lokasi Konsulat Jenderal Jepang di Indonesia)

Untungnya, Erlin masih punya kekuatan untuk tersenyum dan bilang "Makasih ya Mbak" kepada si Mbak Loket 3. Merapikan berkas-berkasnya dengan buru-buru. Balik badan. Lalu pasang tampang datar dengan dagu agak terangkat, agar tidak terlihat seperti kontestan AFI yang gugur sebelum babak 20 besar. Erlin pun tereliminasi dengan tidak elegan.

Wuih, udah panjang ya dongeng di atas hahaha. Yowes, singkat cerita, setelah brunch penuh kegalauan di Sabang 16, menelepon ke Konsulat Makassar, urung meminta bantuan seorang sahabat (karena ndak ena'), ditolak oleh beberapa agen pengurusan visa di Makassar, serta berkonsultasi dengan Abang Adi tersayang (yang kebetulan berkampung halaman Sulawesi Selatan)... Erlin langsung gojekan ke Hayam Wuruk menuju Dwidaya Tour.
Hotline-nya nggak bisa dihubungi via ponsel, makanya aku langsung ke Hayam Wuruk

Kantor Konsulat Jenderal Jepang di Makassar menerima perwakilan pengurusan visa oleh kerabat (dengan Surat Kuasa bermeterai) dan beberapa agen tour and travel seperti Dwidaya dan Panorama. Kenapa bukan Panorama, karena mereka mensyaratkan pembelian tiket ke negara bersangkutan juga harus lewat mereka, jadi tidak bisa jika hanya visa saja. Wes! Dwidaya lah tumpuan harapan satu-satunya. (PS. Makasih Mbak Vinny Dwidaya!)

Pengurusan lewat agen memang lebih mahal, kawan. Itu jelas lah ya. Visa Jepang yang hanya seharga Rp330 ribu mengalami lonjakan menjadi Rp435 ribu. Ditambah biaya pengiriman dokumen ke kantor cabang Dwidaya di Mall Panakukang sebesar Rp50 ribu lagi. Yah, tanpa menghitung biaya brunch galau di Sabang 16, ongkos telepon-teleponan ke Makassar, dan tarif Gojek untuk mondar-mandir demi si visa ini... lumayan lah hanya beda Rp260 ribu saja.

Pengurusan visa per 2 Maret 2017 oleh pihak Dwidaya akan selesai paling lama tanggal 16 Maret 2017 alias 2 minggu. Kita lihat saja hasilnya, ya. Toh jika Tuhan yang membuka pintu, tidak ada satu pun yang dapat menutupnya :) Ada amen?

Pembagian wilayah kerja Kedubes/Konsulat Jepang di Indonesia
Belum update nih, wilayah Sumatera ada di bawah Konsulat yang di Medan


Terima kasih sudah membaca curhat setengah dongeng ini ya, kawan. Ingat! Jika kalian ingin mengurus visa Jepang, perhatikan wilayah kerjanya apakah sesuai dengan alamat di KTP kalian. Jangan zonk kayak aku. :(

Japan, I'm coming!
Source:
Matcha-jp


UPDATE PER 13 MARET 2017

Aku akhirnya dikecewakan! Dwidaya Makassar (UPG) sudah mengirim e-mail ke kantor Hayam Wuruk (HW) perihal urgensi berkas yang kurang sejak tanggal 4 Maret 2017, tapi baru hari ini: Senin, 13 Maret 2017 kantor HW meneruskan pesan tersebut kepadaku. Aku sudah kehilangan 9 hari yang berharga! Padahal berkas-berkas itu kan bukan saja dari aku  yang di Jakarta ini, tapi juga dari si emak di Manado yang tingkat kesibukannya ngalahin Menteri Pertahanan Indonesia :/ KZL.

Jadi berkas apa saja yang kurang?
  • KTP Asli
  • FC Akta kelahiran (kertas A4)
  • Surat izin suami (untuk si emak)/orang tua (untukku)
Aku segera menelepon pihak UPG untuk mengecek kembali berkas-berkas yang perlu kukirim. Jangan sampai ada lagi berkas yang kurang saat aku nanti sudah mengirim dokumen yang diminta. Saat konfirmasi dengan staff, aku disarankan untuk melampirkan Akta Kematian ayah kandung berhubung aku sudah yatim dan tidak dapat melampirkan Surat Izin Orang tua (si emak ikut berangkat soalnya). Eh, kedua kali kroscek, kali ini dengan Travel Consultant-nya, aku malah disarankan minta Surat Izin dari ayah tiri / suami si emak. Hmm. Untunglah aku kroscek dulu.

Dari komunikasi telepon ini jugalah aku baru mengetahui bahwa minimal rekening yang dipersyaratkan Dwidaya adalah Rp30 juta untuk visa Jepang. Duh, Gusti. Sek aku mau ngepet dulu.

Masalahnya: koordinasi yang sangat kurang antara kantor HW dan UPG. Aku sebagai customer memang sejak awal juga kayak 'digantung'. Apa boleh buat, Dwidaya satu-satunya travel agent harapanku untuk mendapat visa Jepang ini. 

Rugi banget kan, mengurus visa lewat jasa travel agent? Persyaratannya kebanyakan, minimum rekening dilebih-lebihkan, komunikasi yang nggak bagus antara kantor travel agent dengan si customer, dan tidak ketinggalan, harga visa yang lebih mahal. Mendingan ngurus mandiri, kemana-mana. Makan hati, sih, makan hati... tapi kan karena 'kebodohan' kita sendiri, jadi nggak bisa menyalahkan orang lain.

Tolong bantu doa, ya, guys. Ini sudah H-17 :(


FINAL UPDATE PER 29 MARET 2017

DRAMA ALL THE WAY.

Karena sempat salah memilih ekspedisi untuk mengirim dokumen, persyaratan visa kami baru siap di-submit ke Konsulat Jepang per 20 Maret 2017. Untungnya, Dwidaya Tour menjamin visa kami pasti selesai dalam 4 hari alias Kamis, 23 Maret 2017. Well, one thing to thank them is Dwidaya bisa menenangkan aku yang sudah khawatir berlebihan akan ditolak.

Tapi gara-gara ada dinas luar pada minggu itu, aku jadi tak bisa memantau progress penyelesaian dan pengiriman visa. Akibatnya, si visa baru dikirim dari Makassar pada hari Senin, 27 Maret 2017, sedangkan esok harinya libur Nyepi alias TIKI tidak ada pengiriman! Lho, kan Erlin berangkatnya tanggal 29 Maret? Iya betul, kawan. Paspor dan visa memang baru kupegang H-3 jam sebelum berangkat ke Singapura. Itupun terima kasih sebesar-besarnya untuk TIKI branch Garuda Kemayoran yang sigap menghubungi kurir agar langsung mengantar paketku sebelum jam 12 siang. *sungkem*

Hahaha.

H-3 jam

Kalau bisa digolongkan sebagai mujizat, sih, tentu perjuangan visa Jepang ini akan kucantumkan sebagai salah satunya. Dari berburu tiket (sekali lagi, thanks a lot, Bang Adi!), menabung (bleeding~), menyusun itinerary dan memilih hotel (berujung hangusnya sekian puluhribu yen karena lupa meng-cancel beberapa hotel sebelum tenggat waktu), hingga puncaknya ya si visa ini. Gilak. Traveling paling menguras otak - kedua setelah Turki, tentunya - dan menguji kesabaran.

Mungkin kalau tidak ada Mama yang selalu men-support dan menguatkan dari ujung telepon, aku sudah down dan putus asa. Dan satu hal yang aku yakin, doa Mama pasti punya andil besar dalam mujizat satu ini.

***

Epilogue of the story:
Persiapkan berkas visa kalian selengkap mungkin, utamanya lokasi apply yang sesuai persyaratan. Kedua, jangan tunda menunda meskipun kalian masih punya banyak waktu. Who knows ada banyak insiden dadakan yang menghambat di tengah jalan nanti. Terakhir: doa yang banyak. Kita hanya bisa berencana, tapi hanya Tuhan yang dapat bekerja dalam hidup kita :) Ada amen?

Dwidaya Tour Makassar, terutama Pak Salman si travel consultant, sangat helpful meski ada beberapa waktu beliau sulit dihubungi. Pak Salman tetap sabar menanggapiku yang hampir setiap hari menelpon. Jika ada kawan-kawan yang kasusnya persis sepertiku, sebaiknya langsung hubungi Dwidaya Makassar saja, tidak perlu 'transit' dulu di kantor pusat Hayam Wuruk karena mereka justru tidak dapat diandalkan.

Thanks for reading, ya, readers. Harap bersabar menanti Japan trip review 😏

10 comments:

  1. hai erlin.
    Saya penggemar blog kamu dari Balige, Toba Samosir.
    Kapan liburan kesini

    ReplyDelete
    Replies
    1. Halo kakak cantik :D maulah kesana di-guide sama kakaknya

      Delete
  2. Hai Lin. baru buka2 blog lagi, iseng ninggalin komen ah. Tetep ada drama ya kemana2 haha

    ReplyDelete
    Replies
    1. Halo Nu! Bukan cuma di SOULJAH yah, yang penuh drama wkwkwk.. makasih udah iseng mampir yaaa :)

      Delete
  3. ngeri kali dak...brarti mending bikin epassport ya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul banget dak, mending sekalian punya e-paspor kalo emang pengen banget ke Jepang (berkali-kali)

      Delete
  4. Halo erlin! Mau bertanya untuk tiket pesawat dan penginapan erlin beli dulu baru urus visa atau bagaimana? Saya mau beli tiketnya tapi takut visa ditolak.. maklum baru pertamakali mau traveling tanpa tour hehe.. terimakasih atas waktunya 😊

    ReplyDelete
    Replies
    1. jangan takut visa ditolak :) apalagi kalo dirimu PNS, pasti aman. Untuk penginapan masih booked belum paid, nanti dibayar/dilunasi setelah visa diterima. Dengan catatan, ajukan visanya dari jauh-jauh hari (3 bulan) supaya ndak kehabisan penginapan ahaha. Semangat!

      Delete
  5. Halo erlin.. saya bukan PNS , saya jg takut visa di tolak tp kan harus ada tiket pp untuk buat visa. Malah tiket nya non refund. Gimana ya kira2? Minta sarannya..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bukan PNS tapi punya surat keterangan lengkap dari kantor swasta-nya bahwa kamu bekerja dan menjamin bahwa tidak akan cari kerja di Jepang, itu sudah cukup kok :) jangan takut yaa

      Delete